Selasa, 04 September 2012

OPERASI SEROJA (1975 – 1979)

OPERASI SEROJA (1975 – 1979)

Chapter 1


Dading Kalbuadi, Chief Commander Flamboyan Operation


Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI. Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU.
Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan “Operasi Komodo” yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit).
Indonesian Marines reached the beach near Dili


Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi “Operasi Flamboyan”. Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi “Operasi Seroja”.
M. Jusuf, The High Commander of Indonesian Army burning the spirit of Indonesian Soldiers


Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya.

East Timor Partisans who joined UDT & Apodeti

Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan.

Indonesian Raiders (Batalyon 502 Raiders East Java)

Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. “Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor,” kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat).
Gunship
Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara.
Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. “Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan,” ingat Marsda (Pur) Suakadirul.
Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. “Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang,” katanya. Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb. Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. “Sebagai panutan, lah.”
Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan mengangkut satu batalion pasukan payung. “Satu pesawat memuat 100 orang,” jelas Hendro, wartawan yang meliput. Pada hari yang sama di Timor, Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya.
Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan landasan pacu Lanud Iswahyudi. Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat.
Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan, selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot. Di utara Denpasar, leader mengirim morse ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi.
T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb. Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello (kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). Arrow ketiga dipimpin Letkol Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso (kiri) serta Mayor Pnb.Murdowo (kanan).
Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan. Apalagi tujuan medan perang. Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4 jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup untuk penerbangan 10 jam 30 menit.
Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf) Warsito dengan target Komoro. Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna. Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang.
Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur. Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. Ketiga tim disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan.
Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways. Garuda menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono.
Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan. Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support. Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah. Ini disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan, diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33 T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86 Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable. Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service.
Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara. Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20 pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship.
Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47 gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga senapan mesin kaliber 0,50 mm. Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi Linud 7 Desember.
Go!
Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali, bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk persiapan.
Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10 menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi. Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing.
Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. “Tidak ada informasi dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro,” protes Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. “Saya tidak mengerti soal itu,” jawab Suakadirul.
Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan dikurangi hingga 110 knot. “Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala, terus depressurized,” cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. “Saya berada pada ketinggian 900 kaki,” ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki.


Baca chapter 2 di sini

Comments
0 Comments
Komentarnya yang sopan sopan aja ya mas bro mbak bro ^_^

0 komentar:

Posting Komentar