Mendekati pantai Dili, dengan referensi
Tanjung Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung
kota Dili. Agar pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut
Suakadirul, flap diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul,
Dili bukan hal baru. Tahun 1970, lulusan Chekoslowakia ini telah
mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute Denpasar, Rembiga,
Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over night). Sementara, navigator buka suara, “2 menit ahead.”
Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan tanpa lindungan (escort)
B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar lima detik setelah
Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat perkampungan
nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45, bertepatan
perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. “Kerongkongan saya mendadak
kering,” ujar Suakadirul.
Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45, jumping master
berteriak. “Penerjun siap?” Dilanjutkannya dengan perintah, “Sedia di
pintu!” Sekian detik kemudian, jumping master berteriak lebih keras. “Go!”
Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke
barat pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah
Kota Dili, anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan
kemudian, berbaur dari Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap
pesawat. Dalam empat hitungan, parasut T-10 berwarna hijau zaitun
terkembang dikeremangan pagi di atas Dili. Karena komunikasi segitiga
Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin rapi, penerjunan
sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan diberondong secara
sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit.
Pasukan Linud yang masih mengambang,
balik menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara
pasukan Linud dan gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day,
beberapa bulan sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata
peninggalan Portugal dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai
rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin telah siaga begitu listrik
dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir disertai tembakan
kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal frigat Portugal pun, tentu tidak tidur.
Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati
pasukan Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di
atap rumah, tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan
terbuka di tengah kota, “terpaksa” menjadi sasaran empuk. Belum sempat
berbenah, mereka langsung terlibat baku tembak dengan Baret Coklat
mantan Tropaz, serdadu Portugal. Sama sekali tidak ada waktu untuk
konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras menyebar memulai
operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan terbang.
Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui
kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau
bersabar, tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan
matang karena Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu
dari udara. Perkiraannya serbuan dari perbatasan.
Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway
Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke
Kupang. Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu
lama waktunya cuma satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal
terjun, termasuk komandan Tim-C Lettu Luhut Panjaitan.
Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master
T-1312 yang diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang
peluru yang menembus badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput.
Peluru merusak navigation compass dan auxiliary hydraulic pump.
Peluru juga menembus kaca kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir
kopi yang ditaruhnya, terlontar ke depan kokpit dan membasahi dahi sang captain. Crew sempat menduga captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di kepalanya. “Ternyata cuma kopi.”
Dua pesawat Hercules lainnya yang
diterbangi Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut
tertembak. Kesembilan pesawat plus 79 anggota yang batal
terjun, meneruskan penerbangan ke Kupang selama 48 menit. Dari Kupang,
setelah memeriksa kondisi pesawat yang tertembak, sortie kedua
dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan sebagai DZ.
Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion 502,
tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan
aman karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili.
Suakadirul mengganti pesawatnya dengan T-1305.
Salah tembak
Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat.
Entah siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret
Hijau menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang
sedang bergerak menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama,
tembak-menembak kembali terulang. Saling membidik terus berlangsung
tanpa kedua pihak menyadari, mereka adalah teman. Di bawah Marinir yang
habis memukul mundur Fretilin di sepanjang garis pantai, yang melayang,
Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif mengakhiri tembak-menembak
(friendly fire), dengan mengibarkan “Merah Putih”. Untung lagi, tidak ada korban.
Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu
beberapa saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight
mempersiapkan sortie ketiga penerjunan pasukan Kostrad yang masih
tersisa ke pinggiran barat Kota Dili. Takut kejadian tragis sortie kedua
terulang kembali, Mako Operasi Seroja memutuskan membatalkan sortie
ketiga.
Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga
tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan
selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos
Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan.
Petangnya, 7 Desember, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari
itu, pukul 12.30, Dili telah dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang
dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalista dibantu para sukarelawan
Indonesia.
Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung.
35 orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders,
termasuk dua mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang
tewas tertembak. Tiga lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula
hilang, mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B,
Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan munisi AK-47-nya yang tertembak.
Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna, tewas tertembak. “Ditembak sniper,” ungkap Hendro. Di pihak Fretilin, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat majalah Airforces,
edisi Januari 1999 di bawah judul “Drop Zone Dili”, 122 tewas dan 365
orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian, giliran
Baucau dibebaskan.(ben)
dikutip dari : www.angkasa-online.com